Adat dan istiadat - Tradisi melompat batu atau yang biasa disebut oleh orang Nias sebagai fahombo batu adalah pada mulanya dilakukan oleh seorang pemuda Nias untuk menunjukan bahwa pemuda yang bersangkutan sudah dianggap dewasa dan matang secara fisik. Lebih jauh dari itu bila sang pemuda mampu melompati batu yang disusun hingga mencapai ketinggian 2 m dengan ketebalan 40 cm dengan sempurna maka itu artinya sang pemuda kelak akan menjadi pemuda pembela kampungnya samu’i mbanua atau la’imba hor, jika ada konflik dengan warga desa lain.
Tapi satu hal yang perlu diketahui bahwa tradisi lompat batu ini tidak terdapat di semua wilayah Nias dan hanya terdapat pada kampung-kampung tertentu saja seperti di wilayah Teluk Dalam. Dan satu hal lagi, tradisi ini hanya boleh diikuti oleh kaum laki-laki saja, dan sama sekali tak memperbolehkan kaum perempuan untuk mencobanya mengingat lompat batu merupakan ajang ketangkasan yang nantinya bila berhasil melompat dengan sempurna yang bersangkutan akan didampuk menjadi pembela kampungnya ketika ada perselisihan dengan kampung lain.
Oleh karena begitu prestisiusnya kemampuan lompat batu ini, maka sang pemuda yang telah berhasil menaklukan batu ini pada kali pertama bukan saja akan menjadi kebanggaan dirinya sendiri tapi juga bagi keluarganya. Bagi keluarga sang pemuda yang baru pertama kali mampu melompati batu setinggi 2 meter ini biasanya akan menyembelih beberapa ekor ternak sebagai wujud syukuran atas keberhasilan anaknya.
Adat dan istiadat
Rangkuman adat istiadat indonesia lengkap
Upacara Adat Suku Minahasa Sulawesi
Adat dan istiadat - Pulau Sulawesi atau yang pada zaman dahulu terkenal juga dengan sebutan Celebes ini, selain memiliki kekayaan alam yang begitu melimpah baik berupa panorama yang menyejukkan pandangan, aneka marga satwa yang lengkap, bahkan beberapa diantaranya merupakan binatang langka dan endemic yang hanya hidup di Pulau ini seperti burung Maleo, Cuscus, Babirusa, Anoa dan Tangkasii (Tarsius Spectrum), dan aneka fauna yang demikian lengkap baik itu aneka bunga, sayur mayur dan juga berbagai variasi buah-buahan.
Tanah yang subur nan eksotis ini saja sudah cukup membuat kagum setiap siapa pun yang berkunjung ke tempat ini, terlebih lagi budaya dan kearifan lokal warisan nenek moyang penduduk setempat masih senantiasa lestari hingga detik ini dengan berbagai ritual upacara yang senantiasa mereka pegang dan jalankan mengiringi siklus hidup dan babak-babak terpenting dari keseharian mereka. Maka dari itu, sudah tak disangsikan lagi dengan kombinasi variasi yang luar biasa dalam bidang panorama dan cara kehidupan orang tertempat yang memiliki tradisi yang unik akan memikat pengunjung dari luar.
Nah, pada kesempatan kali ini, Budaya Nusantara akan mengulas secara singkat apa-apa saja budaya dan kearifan lokal masyarakat Minahasa yang sampai saat ini masih tetap lestari di tengah-tengah kehidupan mereka, terutama pada dan untuk upacara-upacara adatnya.
1. Monondeaga
Upacara adat ini merupakan sebuah upacara adat yang biasa dilakukan oleh suku Minahasa terutama yang berdiam di daerah Bolaang Mongondow. Pelaksanaan upacara adat ini sendiri adalah untuk memperingati atau mengukuhkan seorang anak perempuan ketika memasuki masa pubertas yang ditandai dengan datangnya haid pertama. Secara garis besar, upacara adat ini dilakukan sebagai bentuk syukur dan sekaligus semacam uwar-uwar bahwa anak gadis dari orang yang melaksanakan upacara adat ini telah menginjak masa pubertas. Untuk itu, agar kecantikan dan kedewasaan sang anak gadis lebih mencorong, maka dalam upacara adat ini sang gadis kecil pun daun telinganya ditindik dan dipasangi anting-anting layaknya gadis yang mulai bersolek, kemudian gigi diratakan (dikedawung) sebagai pelengkap kecantikan dan tanda bahwa yang bersangkutan sudah dewasa.
2. Mupuk Im Bene
Sebenarnya upacara Mupuk Im Bene itu hakikatnya mirip dengan upacara syukuran selepas melaksanakan panen raya, seperti halnya yang lazim kita saksikan di pulau Jawa ketika menggelar acara mapag sri dan atau munjungan. Dan memang, esensi dari ritual ini sendiri adalah untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan atas segala rizki yang mereka dapat, atau yang dalam bahasa setempat disebut dengan Pallen Pactio. Prosesi dari upacara adat ini adalah secara ringkas dapat digambarkan sebagai berikut: Masyarakat yang hendak melaksanakan upacara Mupuk Im Bene ini membawa sekarung padi bersama beberapa hasil bumi lainnya ke suatu tempat dimana upacara ini akan dilakanakan (biasanya di lapangan atau gereja) untuk didoakan. Kemudian selepas acara mendoakan hasil bumi ini selesai maka dilanjutkan dengan makan-makan bersama aneka jenis makanan yang sebelumnya telah disiapkan oleh ibu-ibu tiap rumah.
3. Metipu
Metipu merupakan sebuah upacara adat dari daerah Sangihe Talaud berupa penyembahan kepada Sang Pencipta alam semesta yang disebut Benggona Langi Duatan Saluran. Prosesi dari upacara adat ini adalah dengan membakar daun-daun dan akar-akar yang mewangi dan menimbulkan asap membumbung ke hadirat-Nya, sebagai bentuk permuliaan penduduk setempat terhadap pencipta-Nya.
4. Watu Pinawetengan
Kalimat atau istilah Musyawarah untuk mencapai kata mufakat dan bersatu kita teguh bercerai kita runtuh ternyata bukan hanya monopoli beberapa kaum saja, dan tentu saja itu bukanlah isapan jempol yang tanpa makna. Suku minahasa pun memiliki satu upacara adat yang memang dilaksanakan untuk meneguhkan persatuan dan kesatuan anatar penduduknya. Upacara adat itu dalam suku Minahasa disebut dengan upacara Watu Pinawetengan. Konon berdasarkan cerita rakyat yang dipegang secara turun temurun, pada zaman dahulu terdapatlah sebuah batu besar yang disebut tumotowa yakni batu yang menjadi altar ritual sekaligus menandai berdirinya permukiman suatu komunitas. Dan konon lagi kegunaan dari batu tersebut merupakan batu tempat duduk para leluhur melakukan perundingan atau orang setempat menyebutnya Watu Rerumeran ne Empung. Dan memang, ketika Johann Gerard Friederich Riedel pada tahun 1888 melakukan penggalian di bukit Tonderukan, ternyata penggalian berhasil menemukan batu besar yang membujur dari timur ke barat. Batu tersebut merupakan tempat bagi para pemimpin upacara adat memberikan keputusan (dalam bentuk garis dan gambar yang dipahat pada batu) dalam hal membagi pokok pembicaraan, siapa yang harus bicara, serta cara beribadat.
Sementara inti dari upacara yang diselenggarakan di depan batu besar itu adalah wata’ esa ene yakni pernyataan tekad persatuan. Semua perwakilan kelompok etnis yang ada di Tanah Toar Lumimut mengantarkan bagian peta tanah Minahasa tempat tinggalnya dan meletakkan di bagian tengah panggung perhelatan. Diiringi musik instrumentalia kolintang, penegasan tekad itu disampaikan satu persatu perwakilan menggunakan pelbagai bahasa di Minahasa. Setelah tekad disampaikan mereka menghentakkan kaki ke tanah tiga kali. Pada penghujung acara para pelaku upacara bergandengan tangan membentuk lingkaran sembari menyanyikan Reranian: Royorz endo.
*****
Sebenarnya masih ada dua jenis upacara lainnya di Minahasa yang menarik untuk dipelajari, yakni upacara pernikahan dan upacara kematian. Tapi karena kedua upacara tersebut memiliki tahap-tahap yang lumayan panjang, maka Budaya Nusantara memutuskan untuk membahasnya pada artikel tersendiri saja agar lebih mudah dimengerti. Semoga bermanfaat….
Sumber : http://arsipbudayanusantara.blogspot.nl/2013/05/beberapa-upacara-adat-suku-minahasa.html
Tanah yang subur nan eksotis ini saja sudah cukup membuat kagum setiap siapa pun yang berkunjung ke tempat ini, terlebih lagi budaya dan kearifan lokal warisan nenek moyang penduduk setempat masih senantiasa lestari hingga detik ini dengan berbagai ritual upacara yang senantiasa mereka pegang dan jalankan mengiringi siklus hidup dan babak-babak terpenting dari keseharian mereka. Maka dari itu, sudah tak disangsikan lagi dengan kombinasi variasi yang luar biasa dalam bidang panorama dan cara kehidupan orang tertempat yang memiliki tradisi yang unik akan memikat pengunjung dari luar.
Nah, pada kesempatan kali ini, Budaya Nusantara akan mengulas secara singkat apa-apa saja budaya dan kearifan lokal masyarakat Minahasa yang sampai saat ini masih tetap lestari di tengah-tengah kehidupan mereka, terutama pada dan untuk upacara-upacara adatnya.
1. Monondeaga
Upacara adat ini merupakan sebuah upacara adat yang biasa dilakukan oleh suku Minahasa terutama yang berdiam di daerah Bolaang Mongondow. Pelaksanaan upacara adat ini sendiri adalah untuk memperingati atau mengukuhkan seorang anak perempuan ketika memasuki masa pubertas yang ditandai dengan datangnya haid pertama. Secara garis besar, upacara adat ini dilakukan sebagai bentuk syukur dan sekaligus semacam uwar-uwar bahwa anak gadis dari orang yang melaksanakan upacara adat ini telah menginjak masa pubertas. Untuk itu, agar kecantikan dan kedewasaan sang anak gadis lebih mencorong, maka dalam upacara adat ini sang gadis kecil pun daun telinganya ditindik dan dipasangi anting-anting layaknya gadis yang mulai bersolek, kemudian gigi diratakan (dikedawung) sebagai pelengkap kecantikan dan tanda bahwa yang bersangkutan sudah dewasa.
2. Mupuk Im Bene
Sebenarnya upacara Mupuk Im Bene itu hakikatnya mirip dengan upacara syukuran selepas melaksanakan panen raya, seperti halnya yang lazim kita saksikan di pulau Jawa ketika menggelar acara mapag sri dan atau munjungan. Dan memang, esensi dari ritual ini sendiri adalah untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan atas segala rizki yang mereka dapat, atau yang dalam bahasa setempat disebut dengan Pallen Pactio. Prosesi dari upacara adat ini adalah secara ringkas dapat digambarkan sebagai berikut: Masyarakat yang hendak melaksanakan upacara Mupuk Im Bene ini membawa sekarung padi bersama beberapa hasil bumi lainnya ke suatu tempat dimana upacara ini akan dilakanakan (biasanya di lapangan atau gereja) untuk didoakan. Kemudian selepas acara mendoakan hasil bumi ini selesai maka dilanjutkan dengan makan-makan bersama aneka jenis makanan yang sebelumnya telah disiapkan oleh ibu-ibu tiap rumah.
3. Metipu
Metipu merupakan sebuah upacara adat dari daerah Sangihe Talaud berupa penyembahan kepada Sang Pencipta alam semesta yang disebut Benggona Langi Duatan Saluran. Prosesi dari upacara adat ini adalah dengan membakar daun-daun dan akar-akar yang mewangi dan menimbulkan asap membumbung ke hadirat-Nya, sebagai bentuk permuliaan penduduk setempat terhadap pencipta-Nya.
4. Watu Pinawetengan
Kalimat atau istilah Musyawarah untuk mencapai kata mufakat dan bersatu kita teguh bercerai kita runtuh ternyata bukan hanya monopoli beberapa kaum saja, dan tentu saja itu bukanlah isapan jempol yang tanpa makna. Suku minahasa pun memiliki satu upacara adat yang memang dilaksanakan untuk meneguhkan persatuan dan kesatuan anatar penduduknya. Upacara adat itu dalam suku Minahasa disebut dengan upacara Watu Pinawetengan. Konon berdasarkan cerita rakyat yang dipegang secara turun temurun, pada zaman dahulu terdapatlah sebuah batu besar yang disebut tumotowa yakni batu yang menjadi altar ritual sekaligus menandai berdirinya permukiman suatu komunitas. Dan konon lagi kegunaan dari batu tersebut merupakan batu tempat duduk para leluhur melakukan perundingan atau orang setempat menyebutnya Watu Rerumeran ne Empung. Dan memang, ketika Johann Gerard Friederich Riedel pada tahun 1888 melakukan penggalian di bukit Tonderukan, ternyata penggalian berhasil menemukan batu besar yang membujur dari timur ke barat. Batu tersebut merupakan tempat bagi para pemimpin upacara adat memberikan keputusan (dalam bentuk garis dan gambar yang dipahat pada batu) dalam hal membagi pokok pembicaraan, siapa yang harus bicara, serta cara beribadat.
Sementara inti dari upacara yang diselenggarakan di depan batu besar itu adalah wata’ esa ene yakni pernyataan tekad persatuan. Semua perwakilan kelompok etnis yang ada di Tanah Toar Lumimut mengantarkan bagian peta tanah Minahasa tempat tinggalnya dan meletakkan di bagian tengah panggung perhelatan. Diiringi musik instrumentalia kolintang, penegasan tekad itu disampaikan satu persatu perwakilan menggunakan pelbagai bahasa di Minahasa. Setelah tekad disampaikan mereka menghentakkan kaki ke tanah tiga kali. Pada penghujung acara para pelaku upacara bergandengan tangan membentuk lingkaran sembari menyanyikan Reranian: Royorz endo.
*****
Sebenarnya masih ada dua jenis upacara lainnya di Minahasa yang menarik untuk dipelajari, yakni upacara pernikahan dan upacara kematian. Tapi karena kedua upacara tersebut memiliki tahap-tahap yang lumayan panjang, maka Budaya Nusantara memutuskan untuk membahasnya pada artikel tersendiri saja agar lebih mudah dimengerti. Semoga bermanfaat….
Sumber : http://arsipbudayanusantara.blogspot.nl/2013/05/beberapa-upacara-adat-suku-minahasa.html
Sejarah Awal Adanya Suku Dayak di Indonesia
Adat dan istiadat - Sejarah Awal Adanya Suku Dayak di Indonesia - Suku dayak, adalah suku yang sangat fenomenal yang ada di negara Indonesia,karena terkenal akan kekuatan magisnya, Kata Dayak berasal dari kata "Daya" yang artinya hulu, untuk menyebutkan masyarakat yang tinggal di pedalaman atau perhuluan Kalimantan umumnya dan Kalimantan Barat.
Asal Mula Adanya Suku Dayak
Pada tahun (1977-1978) saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan ras mongoloid dari asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan “Muller-Schwaner”. Suku Dayak merupakan penduduk Kalimantan yang sejati. Namun setelah orang-orang Melayu dari Sumatra dan Semenanjung Malaka datang, mereka makin lama makin mundur ke dalam.
Belum lagi kedatangan orang-orang Bugis, Makasar, dan Jawa pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Suku Dayak hidup terpencar-pencar di seluruh wilayah Kalimantan dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan. Suku ini terdiri atas beberapa suku yang masing-masing memiliki sifat dan perilaku berbeda.
Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasala dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608).
Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum)
Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi adalah Banjarmasin. Tetapi masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa datang pada era Bajarmasin (dibawah hegemoni Majapahit) atau di era Islam.
Kedatangan bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik.
Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci (Sarwoto kertodipoero,1963)
Dibawah ini ada beberapa adat istiadat bagi suku dayak yang masih terpelihara hingga kini, dan dunia supranatural Suku Dayak pada zaman dahulu maupun zaman sekarang yang masih kuat sampai sekarang. Adat istiadat ini merupakan salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia, karena pada awal mulanya Suku Dayak berasal dari pedalaman Kalimantan.
Upacara Tiwah
Upacara Tiwah merupakan acara adat suku Dayak. Tiwah merupakan upacara yang dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di buat. Sandung adalah tempat yang semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk mereka yang sudah meninggal dunia.
Upacara Tiwah bagi Suku Dayak sangatlah sakral, pada acara Tiwah ini sebelum tulang-tulang orang yang sudah mati tersebut di antar dan diletakkan ke tempatnya (sandung), banyak sekali acara-acara ritual, tarian, suara gong maupun hiburan lain. Sampai akhirnya tulang-tulang tersebut di letakkan di tempatnya (Sandung).
Dunia Supranatural
Dunia Supranatural bagi Suku Dayak memang sudah sejak jaman dulu merupakan ciri khas kebudayaan Dayak. Karena supranatural ini pula orang luar negeri sana menyebut Dayak sebagai pemakan manusia ( kanibal ). Namun pada kenyataannya Suku Dayak adalah suku yang sangat cinta damai asal mereka tidak di ganggu dan ditindas semena-mena. Kekuatan supranatural Dayak Kalimantan banyak jenisnya, contohnya Manajah Antang. Manajah Antang merupakan cara suku Dayak untuk mencari petunjuk seperti mencari keberadaan musuh yang sulit di temukan dari arwah para leluhur dengan media burung Antang, dimanapun musuh yang di cari pasti akan ditemukan.
Mangkok merah. Mangkok merah merupakan media persatuan Suku Dayak. Mangkok merah beredar jika orang Dayak merasa kedaulatan mereka dalam bahaya besar. “Panglima” atau sering suku Dayak sebut Pangkalima biasanya mengeluarkan isyarat siaga atau perang berupa mangkok merah yang di edarkan dari kampung ke kampung secara cepat sekali. Dari penampilan sehari-hari banyak orang tidak tahu siapa panglima Dayak itu. Orangnya biasa-biasa saja, hanya saja ia mempunyai kekuatan supranatural yang luar biasa. Percaya atau tidak panglima itu mempunyai ilmu bisa terbang kebal dari apa saja seperti peluru, senjata tajam dan sebagainya.
Mangkok merah tidak sembarangan diedarkan. Sebelum diedarkan sang panglima harus membuat acara adat untuk mengetahui kapan waktu yang tepat untuk memulai perang. Dalam acara adat itu roh para leluhur akan merasuki dalam tubuh pangkalima lalu jika pangkalima tersebut ber “Tariu” ( memanggil roh leluhur untuk untuk meminta bantuan dan menyatakan perang ) maka orang-orang Dayak yang mendengarnya juga akan mempunyai kekuatan seperti panglimanya. Biasanya orang yang jiwanya labil bisa sakit atau gila bila mendengar tariu.
Orang-orang yang sudah dirasuki roh para leluhur akan menjadi manusia dan bukan. Sehingga biasanya darah, hati korban yang dibunuh akan dimakan. Jika tidak dalam suasana perang tidak pernah orang Dayak makan manusia. Kepala dipenggal, dikuliti dan di simpan untuk keperluan upacara adat. Meminum darah dan memakan hati itu, maka kekuatan magis akan bertambah. Makin banyak musuh dibunuh maka orang tersebut makin sakti.
Mangkok merah terbuat dari teras bambu (ada yang mengatakan terbuat dari tanah liat) yang didesain dalam bentuk bundar segera dibuat. Untuk menyertai mangkok ini disediakan juga perlengkapan lainnya seperti ubi jerangau merah (acorus calamus) yang melambangkan keberanian (ada yang mengatakan bisa diganti dengan beras kuning), bulu ayam merah untuk terbang, lampu obor dari bambu untuk suluh (ada yang mengatakan bisa diganti dengan sebatang korek api), daun rumbia (metroxylon sagus) untuk tempat berteduh dan tali simpul dari kulit kepuak sebagai lambang persatuan. Perlengkapan tadi dikemas dalam mangkok dari bambu itu dan dibungkus dengan kain merah.
Menurut cerita turun-temurun mangkok merah pertama beredar ketika perang melawan Jepang dulu. Lalu terjadi lagi ketika pengusiran orang Tionghoa dari daerah-daerah Dayak pada tahun 1967. pengusiran Dayak terhadap orang Tionghoa bukannya perang antar etnis tetapi lebih banyak muatan politisnya. Sebab saat itu Indonesia sedang konfrontasi dengan Malaysia.
Menurut kepercayaan Dayak, terutama yang dipedalaman Kalimantan yang disampaikan dari mulut ke mulut, dari nenek kepada bapak, dari bapak kepada anak, hingga saat ini yang tidak tertulis mengakibatkan menjadi lebih atau kurang dari yang sebenar-benarnya, bahwa asal-usul nenek moyang suku Dayak itu diturunkan dari langit yang ke tujuh ke dunia ini dengan “Palangka Bulau” ( Palangka artinya suci, bersih, merupakan ancak, sebagai tandu yang suci, gandar yang suci dari emas diturunkan dari langit, sering juga disebutkan “Ancak atau Kalangkang” ).
Referensi:
http://way4x.wordpress.com/cerita-tanah-leluhur/sejarah-suku-dayak/
http://cahayametafisika.wordpress.com/2012/05/05/mengenal-kebudayaan-ilmu-ghoib-suku-dayak/
Asal Mula Adanya Suku Dayak
Pada tahun (1977-1978) saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan ras mongoloid dari asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan “Muller-Schwaner”. Suku Dayak merupakan penduduk Kalimantan yang sejati. Namun setelah orang-orang Melayu dari Sumatra dan Semenanjung Malaka datang, mereka makin lama makin mundur ke dalam.
Belum lagi kedatangan orang-orang Bugis, Makasar, dan Jawa pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Suku Dayak hidup terpencar-pencar di seluruh wilayah Kalimantan dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan. Suku ini terdiri atas beberapa suku yang masing-masing memiliki sifat dan perilaku berbeda.
Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasala dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608).
Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum)
Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi adalah Banjarmasin. Tetapi masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa datang pada era Bajarmasin (dibawah hegemoni Majapahit) atau di era Islam.
Kedatangan bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik.
Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci (Sarwoto kertodipoero,1963)
Dibawah ini ada beberapa adat istiadat bagi suku dayak yang masih terpelihara hingga kini, dan dunia supranatural Suku Dayak pada zaman dahulu maupun zaman sekarang yang masih kuat sampai sekarang. Adat istiadat ini merupakan salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia, karena pada awal mulanya Suku Dayak berasal dari pedalaman Kalimantan.
Upacara Tiwah
Upacara Tiwah merupakan acara adat suku Dayak. Tiwah merupakan upacara yang dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di buat. Sandung adalah tempat yang semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk mereka yang sudah meninggal dunia.
Upacara Tiwah bagi Suku Dayak sangatlah sakral, pada acara Tiwah ini sebelum tulang-tulang orang yang sudah mati tersebut di antar dan diletakkan ke tempatnya (sandung), banyak sekali acara-acara ritual, tarian, suara gong maupun hiburan lain. Sampai akhirnya tulang-tulang tersebut di letakkan di tempatnya (Sandung).
Dunia Supranatural
Dunia Supranatural bagi Suku Dayak memang sudah sejak jaman dulu merupakan ciri khas kebudayaan Dayak. Karena supranatural ini pula orang luar negeri sana menyebut Dayak sebagai pemakan manusia ( kanibal ). Namun pada kenyataannya Suku Dayak adalah suku yang sangat cinta damai asal mereka tidak di ganggu dan ditindas semena-mena. Kekuatan supranatural Dayak Kalimantan banyak jenisnya, contohnya Manajah Antang. Manajah Antang merupakan cara suku Dayak untuk mencari petunjuk seperti mencari keberadaan musuh yang sulit di temukan dari arwah para leluhur dengan media burung Antang, dimanapun musuh yang di cari pasti akan ditemukan.
Mangkok merah. Mangkok merah merupakan media persatuan Suku Dayak. Mangkok merah beredar jika orang Dayak merasa kedaulatan mereka dalam bahaya besar. “Panglima” atau sering suku Dayak sebut Pangkalima biasanya mengeluarkan isyarat siaga atau perang berupa mangkok merah yang di edarkan dari kampung ke kampung secara cepat sekali. Dari penampilan sehari-hari banyak orang tidak tahu siapa panglima Dayak itu. Orangnya biasa-biasa saja, hanya saja ia mempunyai kekuatan supranatural yang luar biasa. Percaya atau tidak panglima itu mempunyai ilmu bisa terbang kebal dari apa saja seperti peluru, senjata tajam dan sebagainya.
Mangkok merah tidak sembarangan diedarkan. Sebelum diedarkan sang panglima harus membuat acara adat untuk mengetahui kapan waktu yang tepat untuk memulai perang. Dalam acara adat itu roh para leluhur akan merasuki dalam tubuh pangkalima lalu jika pangkalima tersebut ber “Tariu” ( memanggil roh leluhur untuk untuk meminta bantuan dan menyatakan perang ) maka orang-orang Dayak yang mendengarnya juga akan mempunyai kekuatan seperti panglimanya. Biasanya orang yang jiwanya labil bisa sakit atau gila bila mendengar tariu.
Orang-orang yang sudah dirasuki roh para leluhur akan menjadi manusia dan bukan. Sehingga biasanya darah, hati korban yang dibunuh akan dimakan. Jika tidak dalam suasana perang tidak pernah orang Dayak makan manusia. Kepala dipenggal, dikuliti dan di simpan untuk keperluan upacara adat. Meminum darah dan memakan hati itu, maka kekuatan magis akan bertambah. Makin banyak musuh dibunuh maka orang tersebut makin sakti.
Mangkok merah terbuat dari teras bambu (ada yang mengatakan terbuat dari tanah liat) yang didesain dalam bentuk bundar segera dibuat. Untuk menyertai mangkok ini disediakan juga perlengkapan lainnya seperti ubi jerangau merah (acorus calamus) yang melambangkan keberanian (ada yang mengatakan bisa diganti dengan beras kuning), bulu ayam merah untuk terbang, lampu obor dari bambu untuk suluh (ada yang mengatakan bisa diganti dengan sebatang korek api), daun rumbia (metroxylon sagus) untuk tempat berteduh dan tali simpul dari kulit kepuak sebagai lambang persatuan. Perlengkapan tadi dikemas dalam mangkok dari bambu itu dan dibungkus dengan kain merah.
Menurut cerita turun-temurun mangkok merah pertama beredar ketika perang melawan Jepang dulu. Lalu terjadi lagi ketika pengusiran orang Tionghoa dari daerah-daerah Dayak pada tahun 1967. pengusiran Dayak terhadap orang Tionghoa bukannya perang antar etnis tetapi lebih banyak muatan politisnya. Sebab saat itu Indonesia sedang konfrontasi dengan Malaysia.
Menurut kepercayaan Dayak, terutama yang dipedalaman Kalimantan yang disampaikan dari mulut ke mulut, dari nenek kepada bapak, dari bapak kepada anak, hingga saat ini yang tidak tertulis mengakibatkan menjadi lebih atau kurang dari yang sebenar-benarnya, bahwa asal-usul nenek moyang suku Dayak itu diturunkan dari langit yang ke tujuh ke dunia ini dengan “Palangka Bulau” ( Palangka artinya suci, bersih, merupakan ancak, sebagai tandu yang suci, gandar yang suci dari emas diturunkan dari langit, sering juga disebutkan “Ancak atau Kalangkang” ).
Referensi:
http://way4x.wordpress.com/cerita-tanah-leluhur/sejarah-suku-dayak/
http://cahayametafisika.wordpress.com/2012/05/05/mengenal-kebudayaan-ilmu-ghoib-suku-dayak/